Tuesday, November 27, 2007

Post Autistic Economics

Ilmu Ekonomi, semestinya, adalah ilmu sosial, yang bertujuan memahami fakta-fakta (sosial ekonomi) serta memberikan rekomendasi kebijakan dalam rangka memecahkan berbagai masalah pokok. Sehingga, peralatan rumit yang berbasis pada matematika hanyalah soal cara atau metode yang membantu memahami fakta-fakta tersebut.

Dan bukan sebaliknya, tenggelam dalam kerumitan serta justru menjauh dari fakta konkritnya. Maka dari itu, ilmu ekonomi harus dikembalikan pada akarnya ilmu sosial-nya.

Itulah kira-kira cita-cita gerakan post autistic economics (PAE) yang berkembang di Cambridge dan beberapa sekolah di Prancis (ENS).

Keterangan selengkapnya: http://www.paecon.net/

Six winners of the Bank of Sweden Prize for Economics have written as follows.

". . . economics has become increasingly an arcane branch of mathematics rather than dealing with real economic problems"
Milton Friedman

“[Economics as taught] in America's graduate schools... bears testimony to a triumph of ideology over science.”
Joseph Stiglitz

"Existing economics is a theoretical [meaning mathematical] system which floats in the air and which bears little relation to what happens in the real world"
Ronald Coase

“We live in an uncertain and ever-changing world that is continually evolving in new and novel ways. Standard theories are of little help in this context. Attempting to understand economic, political and social change requires a fundamental recasting of the way we think”
Douglass North

“Page after page of professional economic journals are filled with mathematical formulas […] Year after year economic theorists continue to produce scores of mathematical models and to explore in great detail their formal properties; and the econometricians fit algebraic functions of all possible shapes to essentially the same sets of data”
Wassily Leontief

“Today if you ask a mainstream economist a question about almost any aspect of economic life, the response will be: suppose we model that situation and see what happens…modern mainstream economics consists of little else but examples of this process”
Robert Solow


Post-Autistic Economics is about changing this state of affairs.

"Economics is supposed to be social science, i.e. an intellectual discipline resting upon empirically-observed facts, in which mathematics and conceptual frameworks are tools for understanding. But in contemporary mainstream economics, the tools are often in the driver's seat, declaring evident facts impossible and reducing the subtleties of the real world to whatever clockwork economists best know how to build. Post-Autistic economics is the attempt to escape the tyranny of these tools and build new ones that will work properly."
Ian Fletcher

“Modern economics is sick. Economics has increasingly become an intellectual game played for its own sake and not for its practical consequences for understanding the economic world. Economists have converted the subject into a sort of social mathematics in which analytical rigour is everything and practical relevance is nothing.”
Mark Blaug

Monday, November 26, 2007

Five Pillars of the School of Regulation

By Arsoni Buana
Universitas Paris I, ENS,EHESS (Paris school of economics)


Since the study of capitalist regime –and also its form of crises– is one of the main departure point in the Regulationist’ tradition, by taking into account all type of institutions are stable in the mid-term and changing slowly in the long term, it is believed that a certain form of institution permits the reproductions or the changes of particular pattern of economic growth and of the economy’s dynamic condition. Aglietta (1976) and Boyer (1979) repose their analysis of the Fordist regime -which prevailed between 1945 to the first-half of seventies- to five institutional forms as following:

i) Wage relation that represents the sharing of productivity gains between capital and labor. This is a central issue of the school of thought and it implies a different characterization of labor market, an aggregate consumption and also an endogenization of productivity change.

ii) Form of competition among the firm. It is known two dominant forms: oligopoly and monopoly. The latter is often described as intensive accumulation. A different formulation of the price equation and the investment function mark a bold demarcation point with the orthodoxy widely held in economics.

iii) A state intervention in the economy which determines the economic performance through rule and/or law on which the labor market, for example, depend so much. It justifies also an active act of fiscal policy in regulating economic growth. The determination of the form of competition among firm is also determined by the active state intervention. Regulating and maintaining the stability in the economy is in so many ways related with the role of the state.

iv) A monetary regime which is, based on the analysis of Fordism, assumed that money supply is endogenous and, in other side, monetary policy is exogenous. Central bank in this kind of analysis has a full control on interest rate. All have a root to the Fordism era that came with the emergence of the flexible exchange rate policy –which gained its popularity as a best practice in the international context– and also the deterioration of monetary policy authority over its monetary policy since credit money is created without involving a creation of real value.

v) A mode of insertion toward the international order: international trade (WTO), foreign investment, the regulation on structural adjustment conducted by the World Bank and the IMF, the appropriateness to the rule of financial markets, etc.

Friday, November 16, 2007

Hyman Minsky

Hyman Minsky dikenal sebagai akademisi yang membuat kontribusi penting dalam mengembangkan paham Keynesianism dalam sistem finansial. Peran Minsky dalam studi keuangan dan makro ekonomi sangat diperhitungkan, karena dia sudah memikirkan hubungan antara faktor keuangan dalam ekonomi, sebelum para pemikir arus utama menyadarinya sebagai faktor yang penting diperhatikan dalam analisis makro ekonomi.

Apa sumber instabilitas? Menurut Minsky, sumber instabilitas adalah stabilitas itu sendiri. Karena pada dasarnya, “stability is destabilizing”. Gagasan ini sebenarnya mirip dengan pandangan Schumpeter tentang dua tahap peran uang ekonomi. Menurut Schumpeter pada tahap pertama, uang berfungsi mendorong inovasi di sektor produksi. Namun, ketika inovasi yang dilakukan berhasil dengan baik, kecenderungannya para agen ekonomi menjadi spekulatif dalam merencanakan bisnisnya di masa depan. Ada semacam kepercayaan diri yang membuat mereka menjadi kurang hati-hati dalam perencanaan bisnis. Akibatnya, dalam situasi di mana para agen ekonomi berperilaku spekulatif, uang berperan mendestabilisasi ekonomi (tahap kedua).
Menurut Minsky, jika ekonomi berjalan stabil, maka para pelaku ekonomi cenderung ekspanstif dan kurang berhati-hati dalam berhutang. Akibatnya, situasi berubah menjadi mengarah pada instabilitas. Jadi sumber dari instabilitas adalah situasi stabil di mana perilaku agen ekonomi cenderung menjadi spekulatif.

Lalu, mengapa para agen ekonomi cenderung berperilaku spekulatif di saat situasi ekonomi stabil ? Keynes telah menjelaskan dengan baik bahwa keputusan-keputusan agen ekonomi juga sangat dipengaruhi oleh harapan di masa depan. Sementara masa depan itu sendiri mengandung unsur ketidakpastian yang sangat tinggi, maka secara alamiah, perilaku ekonomi menjadi spekulatif.

Ekonomi pasar berbeda dengan kapitalisme

Perhatian utama TR adalah memahami dinamika sistem kapitalisme. Apakah sistem kapitalisme sama dengan sistem ekonomi pasar? Robert Boyer menjawab dengan jelas, keduanya memiliki arti yang berbeda. Jika kita belajar tentang sistem ekonomi pasar, maka kita akan mempelajari bagaimana sistem pasar itu sendiri bekerja. Tetapi kalau kita mempelajari sistem kapitalisme, kita sedang belajar tentang bagaimana relasi sosial dibangun serta bagaimana evolusi atau dinamika perubahan dari waktu ke waktu terjadi yang semuanya itu menentukan bekerjanya sistem pasar.

Saturday, November 03, 2007

Teori Regulasi : so what gitu loh...

Salah satu kritik penting terhadap Teori Regulasi menunjuk sifatnya yang terlalu teoritis. TR selalu tidak applicable dan responsif terhadap kebijakan konkrit.

TR? So What Gitu Loh... SWGL!!

Dari sejarahnya, TR dibangun oleh para "aktifis politik" (Lipietz) dan "pegawai pemerintah" (Boyer). Boyer pada awalnya adalah pegawai perencanaan ekonomi pemerintah Prancis. Mereka adalah satu geng lulusan Ecole Polytechnique, yang adalah sekolah super elit di Prancis untuk mempersiapkan birokrasi Prancis.

Menghadapi carut-marutnya situasi, terutama krisis 1980an, sebagai praktisis, mereka mencari akar masalahnya menuju muara refleksi teoritis dan filosofis, atas berbagai persoalan kongkrit tersebut.

Logika yang sebaliknya terjadi dalam kasus, misalnya, para petinggi bank sentral AS. Umumnya mereka berasal dari dunia akademis, yang turun ke dunia praktek. Ben Bernanke dan Frederic Mishkin adalah para profesor ekonomi yang menjadi pegawai badan publik.

Anti-neo liberal

Ada kata-kata sinis tentang gerakan anti-neo liberal: "Satu-satunya kesamaaan anti neo-liberal adalah karena mereka anti terhadap neo-liberal, selebihnya mereka lebih seru bertarung di antara mereka sendiri, untuk menunjukkan eksistensinya".

Mungkin ada benarnya. Belajar dari pengalaman itu, Teori Regulasi selalu tidak tampil sendirian. Dia selalu bersama-sama dengan gerakan lainnya, teori konvensi, anti-utilitarian dan (neo)-institusi.

Dalam cakupan yang lebih besar lagi, TR selalu berada dalam koridor "Heterodoksi Ekonomi", yang salah satunya disokong oleh paradigma Post-Keynesian.

Dunia akademis adalah kontruksi sosial

Kuhn (1962) pernah bilang "An academic field is a socially constructed entity".

Kalimat ini cukup menarik perhatian saya. Dunia akademis adalah konstruksi sosial, maka tak perlu heran jika diwarnai klaim-mengklaim, guna mendapatkan pengakuan sosial.

Sebuah hegemoni ilmu pengetahuan, hanya bisa terjadi jika mayoritas melegitimasi dan mengakui kesahihannya. Dalam kaca mata ini, teori kritis bisa dengan mudah dianggap "subversif" (versi sub atau minor) sebagai lawan dari mayoritas.

Selanjutnya..."In comparison to a formal organization, which can be identified and
defined, for instance, by its web of legal contracts, an academic field has socially
negotiated boundaries and only exists if a critical mass of scholars believe it to exist and adopt a shared conception of its essential meaning (Astley, 1985; Cole, 1983)".


Dunia akademis punya batas serta wilayah yang selalu bisa dinegosiasikan.. Usaha membuat legitimasi baru atas kesahihan sebuah cara pandang tak lain adalah langkah negosiasi untuk mendiskusikan batas dan wilayah... Semakin banyak dibahas, didiskusikan, akan terjadi "dialog" dan "negosiasi".

Pengaruh Keynes

Karya monumental Keynes tidak bisa dipisahkan dari bukunya yang berjudul "The General Theory of Employment, Money and Interest" (1936). Pemikirannya banyak dikembangkan dalam berbagai jurnal beraliran post-keynesian, seperti Cambridge Journal of Economics, the Journal of Economic Issues dan the Journal of Post Keynesian Economics. Selain itu, Review of Political Economy serta Radical Political Economy Review juga banyak mengulas pemikiran Keynes.

Pada dasarnya Keynes memahami uang dan kredit sebagai sesuatu yang endogen dalam ekonomi. Pandangan ini didukung oleh kelompok ekonomi Cambridge, seperti Nicolas Kaldor. Pandangan inilah yang menjadi salah satu pusat kritik kaum monetaris dari kalangan teori klasik.

Secara garis besar, perdebatan antara kaum (neo)-Keynesian dan kaum (neo)-klasik ada pada sudut pandang pendekatannya: jika kaum neo-Keynesian lebih memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhi sisi permintaan, maka kaum neo-Klasik sebaliknya lebih fokus pada faktor-faktor dalam ekonomi yang mempengaruhi sisi penawaran.

Menurut Keynes dan mashab Cambridgian, penciptaan uang ditentukan oleh kredit. Artinya, uang seharusnya diciptakan untuk disalurkan pada sektor produktif sebagai kredit. Dengan begitu, uang akan menciptakan perluasan kapasitas produksi, penciptaan lapangan kerja, peningkatan pendapatan nasional dan akhirnya mendorong sisi permintaan. Maka dari itu, jika harus diringkas, pemikiran Keynes sering disebut sebagai “the principle of effective demand”.

Pengaruh Schumpeter

Dalam bukunya Capitalism, Socialism and Democracy (1942), salah satu yang disoroti adalah soal perdebatan antara keseimbangan dan evolusi sebagai sesuatu yang berbeda. Dalam pembahasannya, Schumpeter sering menggunakan istilah “historical equilibrium” dan ‘societal equilibrium’ yang menandai perhatiannya pada dimensi evolusi (‘historical’) dan kompleksitas masalah (‘societal’) dalam mencapai titik keseimbangan.

Bahkan secara tegas Schumpeter mengatakan bahwa pembangunan pada hakikatnya akan menjungkirbalikkan keseimbangan dan tidak pernah membawanya kembali pada titik keseimbangan yang lama atau bahkan sulit mencapai titik keseimbangan yang baru. Pembangunan adalah proses yang melibatkan banyak elemen yang kompleks dalam masyarakat serta berada dalam sebuah kontek historisitas tertentu. Akibat penolakannya pada konsep keseimbangan ini, para pembaharu pemikiran Schumpeter (neo-schumpeterian) menolak konsep keseimbangan melalui ‘anti-equilibrium manifesto’.

Ada beberapa elemen penting dalam pemikiran Schumpeter :
1. Kapitalisme adalah sebuah proses historis, di mana “perubahan” (dan bukan “keseimbangan”) merupakan hal penting dan sentral dalam proses tesebut.
2. Para agen ekonomi dipandang sebagai subyek yang kreatif serta menjadi pelaku penting dalam proses transformasi.
3. Kompetisi sebagai mekanisme seleksi dalam proses perubahan .
4. Inovasi sebagai enigma yang lain dalam proses perubahan.
5. Unsur uang (finance) dalam proses inovasi sangat penting. Hampir tidak mungkin perubahan dilakukan tanpa uang.
6. Tingkat keuntungan, sebagai akibat dari proses inovasi, menjadi salah satu faktor pendorong terjadinya keanekaragaman (heterogeneity).

Secara ringkas, pemikiran Schumpeter secara tegas menolak prinsip “keseimbangan “ dengan menawarkan cara pandang institusional dalam melihat dinamika dan persoalan ekonomi. Maka dari itu, oleh para pembaharu pemikirannya mengkampanyekan cara pandang baru melalui “pro-institutional economics manifesto”.

Dengan pengakuannya pada faktor-faktor institusi dalam melihat dinamika ekonomi, pendekatan Schumpeter tentang ekonomi adalah bahwa dinamika ekonomi tak lain adalah hasil dari konstruksi sosial yang di dalamnya mengandung perubahan, konflik dan kesepakatan yang bersifat permanen. Prinsip inilah yang kemudian dikembangkan oleh kelompok ekonom dari Prancis yang menawarkan Teori Konvensi dalam ekonomi.

Mashab Teori Konvensi

Kemunculan Teori Ekonomi Konvensi (TK) tidak bisa dilepaskan dari kerinduan para akademisi untuk melakukan kajian secara multidisiplin. TK sering disebut sebagai perkawinan antara ekonomi dengan sosilogi. Sehingga TK banyak didiskusikan di bidang sosiologi ekonomi.

Mengapa ekonomi beraliran konvensi ini dekat dengan sosiologi yang adalah ilmu tentang (perilaku) masyarakat ? Karena pada dasarnya ekonomi konvensi memiliki obsesi untuk me-denaturalisi perlaku ekonomi. Artinya, ingin menekankan bahwa perilaku ekonomi tidaklah alamiah atau natural, melainkan dibentuk oleh lingkungan sosialnya (masyarakat). Sehingga, berbicara ekonomi tanpa sosiologi akan menyesatkan. Begitu kira-kira pemahaman TK.

Momentum yang dianggap sebagai kelahiran pendekatan Ekonomi Konvensi adalah Konferensi tentang Pasar Tenaga Kerja yang terjadi pada bulan November 1984. Hasil dari konferensi tersebut diterbitkan sebagai terbitan khusus (special issue) dari Revue Economique di tahun 1989 dengan judul besar “Economics of Convention”. Para penulis yang terlibat dalam publikasi tersebut diantaranya André Orléans, Olivier Favereau, Robert Salais, Jean-Pierre Dupuy, François Eymard-Duverney dan Laurent Thévenot. Kelompok inilah yang dianggap sebagai tokoh pendiri TK.

Memiliki kemiripan dengan TR yang sama-sama lahir di Prancis, minat pertama dari TK ini adalah mengambangkan agenda penelitian di bidang perburuhan. Topik yang mereka soroti adalah bagaimana pengaruh aturan, kesepakatan, norma dalam mengatur hubungan ketenagakerjaan dalam ekonomi. Secara lebih khusus, perhatiannya terletak pada pengaruh faktor-faktor tersebut dalam menentukan kualifikasi ketenagakerjaan.

TK masuk dalam kategori teori ekonomi institusionalis, karena bagi TK faktor konvensi atau kesepakatan merupakan variabel penting yang menentukan dinamika ekonomi. Dalam hal ini, konvensi adalah sebuah faktor institusional.

Perhatian pada krisis

Robert Boyer menjelaskan bahwa perekonomian modern ditandai atas dua hal, yaitu: liberalisasi finansial di tingkat global, deregulasi di tingkat nasional dan inovasi produk finansial di tingkat institusi perusahaan. Ketiga faktor inilah yang mendorong terjadinya sistem finansial yang diwarnai dengan instabilitas yang tinggi.
Berkaitan dengan krisis finansial, Robert Boyer bersama dengan Mario Dehove dan Dominique Plihon (2004) menulis buku berjudul "Les Crises Financières". Buku ini sebenarnya ditulis sebagai laporan kepada Perdana Menteri (PM) Jean-Pierre Raffarin, sebagai bagian dari pekerjaan yang menjadi tanggung jawab Conseil d’Analyse Economique, atau sebuah lembaga thin-thank (penasehat) yang bertugas memberikan masukan kepada PM mengenai persoalan ekonomi.

Kritik terhadap Léon Walras (Teori Keseimbangan Umum)

Ilmu ekonomi cenderung mereduksi dirinya menjadi disiplin yang hanya mempelajari sitem ekonomi pasar, tanpa mau terlibat untuk mendalami relasi sosial yang ada di balik relasi ekonomi dalam sistem pasar tersebut. Cara pandang seperti ini sering dikenal sebagai paradigma Walrasian. Atau cara pandang yang memahami aktivitas dan masalah ekonomi dalam dalam kerangka model keseimbangan umum belaka. Paradigma ini diusulkan oleh Léon Walras, seorang ekonom dan ahli matematika dari Prancis yang dianggap sebagai pendiri teori keseimbangan umum.
Cara berpikir Walras sebenarnya sangat dipengaruhi oleh rasionalistas René Descartes dan ahli fisika Newton. Secara filosofis, Walras sangat dipengaruhi oleh Platon.
Ambisi dari TR adalah mengembalikan ilmu ekonomi ke dalam akar ilmu sosialnya. Hal tersebut bisa dilihat dari komposisi para penggagasnya, yang terdiri bukan saja para ekonom, tetapi juga ahli politik dan sosiolog.

Sejarah Teori Regulasi

Teori Regulasi lahir di akhir tahun 1970-an, di mana situsai ekonomi dunia sedang dilanda resesi, setelah mengalami masa kejayaan sekitar 20-30 tahun. Pada masa tersebut, perekonomian Eropa dan Amerika tengah memasuki masa paling sulit sejak krisis hebat di Amerika tahun 1930-an.

Resesi tahun 1970 bercirikan tingginya tingkat inflasi dan juga tingkat pengangguran. Periode tersebut sering disebut sebaga masa “stagflation”, di mana stagnasi ekonomi dialami bersamaan dengan tingginya inflasi. Dan pada masa inilah berbagai instrumen kebijakan bernafat Keynesian dirasa tidak lagi mampu menjawab persoalan konkrit. Pendekatan Keynesian telah dianggap gagal dengan datangnya resesi ekonomi pada tahun 1970an.

Menghadapi krisis (resesi) periode 1970-an, paham neoklasik memiliki jawaban sebagai berikut. Pertama, krisis disebabkan oleh faktor eksternal yang menganggu proses alamiah keseimbangan umum. Dalam konteks masa itu, ada dua hal yang sering disebut-sebut sebagai asal muasal krisis menurut pandangan neo-klasik: 1). Depresiasi nilai dolar terhadap emas serta runtuhnya sistem Bretton Woods, 2). Krisis harga minyak dan dampak yang diakibatkannya.

Interpretasi kedua oleh aliran neo-klasik adalah bahwa krisis disebabkan oleh karena berbagai proses dan kondisi yang menghalangi bekerjanya sistem pasar secara alamiah. Sebagaimana diyakini oleh kaum neo-klasik, sistem pasar bersifat mengatur dirinya sendiri (self-regulator), sehingga harus dibersihkan dari berbagai intervensi yang menghalangi bekerjanya sistem pasar secara alamiah.

Sehingga, mudah ditebak, krisis tahun 1970 merupakan tonggak penting bagi paham neo-klasik yang ditandai dengan beralihnya seluruh paham ekonomi dari paham Keynesian menuju neo-klasik di awal tahun 1980-an. Pada periode inilah paham neo-klasik menemukan masa kebangkitannya kembali.

Pada masa-masa sulit tersebut, hadirlah Milton Friedman yang pada tahun 1976 menerima hadiah Nobel di bidang ekonomi, atas karyanya tentang revisi pendekatan “kurva Philips”. Secara garis besar, Milton Friedman bersama paham neo-klasik mengusung pendapat bahwa kebebasan pasar harus didahulukan. Bagi mereka, institusi dianggap sebagai penghalang bekerjanya sistem pasar, sehingga harus sebisa mungkin harus disingkirkan.

Jika pandangan neo-klasik yang diwakili oleh Milton Friedman mendapatkan legitimasinya menghadapi situasi resesi tahun 1970-an, sebaliknya pandangan Keynesian masih terasing dan dianggap gagal menjawab masalah. Kurva Philips adalah salah satu andalan kaum Keynesian dalam mengatasi masalah pengangguran melalui pengelolaan inflasi.

Secara garis besar, kondisi resesi tahun 1970-an membuat para penganut paham ekonomi Keynesian harus berdiam diri, karena instrument-instrumen yang ditawarkannya terbukti tidak mampu mengatasi masalah. Meski begitu, masih ada James Tobin yang mencoba memberikan kontribusi melalui konsep “natural interest rate” atau yang dikenal dengan konsep NAIRU (Non-Accelerating Inflation Rate of Unemployment).

Di tengah hilangnya legitimasi paham Keynesian serta bangkitnya kembali paham neo-klasik, para pemikir Prancis yang tergabung dalam aliran Teori Regulasi mencoba mencari akar masalah dari sisi yang lain.

Pertama-tama, TR mengambil gagasan Keynes mengenai bahwa instabilitas yang paling esensial dari sistem ekonomi kapitalis adalah pertumbuhannya sendiri. Selanjutnya, TR setuju dengan ide dasar Keynes tentang permintaan efektif (effective demand). Salah satu implikasinya adalah bahwa tingkat upah merupakan faktor yang akan mendorong pertumbuhan, bukan sebaliknya. Pandangan sebaliknya oleh penganut neo-klasik meyakini bahwa tingkat upah akan berbanding terbalik dengan tingkat pertumbuhan ekonomi.

Menghadapi hebatnya resesi tahun 1970-an, sekelompok ekonom Prancis justru mengambil gagasan dasar Marx tentang kontradiksi sistem produksi yang bersifat kapitalistik. Menurut Marx, menurunnya tingkat keuntungan dari sistem produksi kapitalis tak lain menunjukkan awal kehancuran sistem kapitalis itu sendiri yang disebabkan oleh kontradiksi internalnya.

Gagasan kontradiksi internal inilah yang diambil oleh TR dengan menitik beratkan pada analisis endogen dari krisis ekonomi. Pertanyaan-pertanyaan pragmatis muncul dari kerangka TR. Pertama, mengapa hampir selama 30 tahun sistem ekonomi di Amerika dan Eropa di warnai dengan masa kejayaan yang ditandai dengan tingginya tingkat pertumbuhan ekonomi. Faktor-faktor apa saja yang menyebabkannya? Masa kejayaan ekonomi kapitalis diyakini akibat sistem produksi masal yang mendorong sistem konsumsi masal. Periode ini sering disebut sebagai “periode Fordisme”. Karena, industri mobil yang dipimpin oleh Ford menggunakan model produksi masal untuk melayani pola konsumsi masal pula.

Berkaitan dengan pertanyaan pertama ini, TR mengajukan argumen bahwa krisis tidak bisa dipahami tanpa melihat situasi kemakmuran yang dialami sebelumnya. Dalam arti lain, TR melihat krisis sebagai bagian dari siklus ekonomi.

Pertanyaan penting kedua yang diajukan oleh TR adalah mengapa krisis baru meledak pada paruh 1970-an? Kenapa tidak sebelum atau sesudahnya? Padahal, kemunduran tingkat keuntungan yang dialami oleh perusahaan-perusahaan sudah dimulai pada tahun 1960-an.

Pertanyaan ketiga, mengapa bentuk krisis tahun 1970an adalah stagflasi, sementara krisis tahun 1930an lebih pada krisis finansial?

Buku karya Robert Boyer (1986) dengan judul La Théorie de la régulation : une analyse critique sering disebut sebagai analisis komprehensif pertama yang dihasilkan dari pergumulan TR menghadapi resesi ekonom.

Istilah regulation sendiri berasal dari Gerard De Bernis yang mengambilnya dari konsep biologi dan kemudian diterapkan dalam analisis ekonomi. Regulation dalam arti harafiahnya adalah regularities. Dalam pengertian ini, sistem ekonomi dibentuk oleh “regularities” dari berbagai institusi yang menentukan ritme atau sistem tertentu. Sistem kapitalisme, meskipun diwarnai dengan berbagai kontradiksi (ide Marxist) tetap ada sebuah keteraturan yang bertahan serta membuat sistem tersebut tetap hidup. Meski begitu, bentuk keteraturan tersebut berubah-ubah dari waktu ke waktu, sehingga yang dinamakan sebagai regulation (regularities) juga mengalami perubahan. Perubahan model keteraturan (mode of regulation) inilah yang menjadi fokus perhatian TR.

Mengapa Teori Regulasi tidak dikenal?

Teori Regulasi (Théorie de la Régulation) tidak terlalu banyak dikenal karena berbagai alasan mendasar. Pertama, umur kelahirannya masih sangat muda. Dia baru dianggap lahir di akhir tahun 1970an, atau sekitar tahun 1978. Dan karena itu, belum ada buku, referensi dan karya monumental yang cukup representatif. Buku yang dianggap karya utama dari Teori Regulasi (TR) adalah kumpulan tulisan yang berjudul Théorie de la Régulation: Etat de Savoir.
Kedua, mashab Regulasi ini berkembang di Prancis, sehingga tidak terlalu dikenal di dunia berbahasa Inggris (anglo-saxon). Usaha untuk menterjemahkan karya-karya pemikir TR ke dalam bahasa Inggris masih sangat terbatas. Ketiga, harus diakui TR belum menjadi teori yang solid, selain karena usianya yang masih muda, juga karena digagas oleh beberapa tokoh yang agenda risetnya kadang terlihat ‘tercerai’ (dispersed).

Friday, November 02, 2007

Paradoks Gaji CEO

Ada satu isu menarik menyusul keruntuhan pasar perumahan di AS. Para aktivis di pasar modal menilai gaji para CEO perusahaan papan atas, terutama perusahaan perumahan di AS terlalu tinggi. Pada waktu terjadi booming perumahan, memang perusahan2 tersebut mengalami windfall pendapatan yang luar biasa, tetapi begitu krisis terjadi, banyak perusahaan yang bergerak di bidang perumahan mengalami kerugian besar.

Lembaga-lembaga keuangan yang mendanai kredit perumahan tersebut juga terkena dampaknya. Merill Lynch mengalami kerugian 8 miliar dolar AS. Citigroup juga mengalami kerugian signifikan.

Saya teringat paper Boyer berjudul "From shareholder value to CEO power: the paradox of the 1990s", yang menjelaskan tentang valuasi penilaian CEO yang bukan berbasis pada kinerja fundamental, tatapi virtual.

Masalah seks mengganggu ekonomi

William Pesek menulis opini di Bloomberg soal kemungkinan masalah demografi di Asia yang akan menganggu kinerja ekonomi. Jumlah anak laki-laki lebih besar dari anak perempuan. Dia mengutip kata-kata demographer Perancis, Christophe Guilmoto, tentang``masculinization", bahasa kasarnya The Penis Preference.

Dia mengambil contoh China ti tahun 2005, 120 anak laki-laki lahir setiap 100 anak perempuan. Amartya Sen menyebut fenomena di India sebagai "missing woman".

Satu bukti, kinerja ekonomi tak bisa lepas dari konteks budaya, kondisi sosial dan demografi.

Thursday, November 01, 2007

Jurnal Ekonomi Regulasi

Di awal musim panas 2007, Universitas Paris Utara (Université Paris Nord) menjadi saksi kelahiran jurnal baru, bernama Revue de la régulation.

Robert Boyer, yang adalah presiden asosiasi penelitian "régulation" menulis paper berjudul Capitalism Strikes Back: Why and What Consequences for Social Sciences? Paper ringan ini berobsesi memberikan landasan bagi perspektif Sekolah Regulasi serta pendekatan heterdoks dalam ilmu ekonomi.

Argumen pertama, kita hidup dalam sebuah sistem kapitalisme. Dan kapitalisme tidak sama dengan sistem pasar. Meskipun sistem pasar adalah bagian dari kapitalisme, tetapi sistem kapitalisme juga mengandung unsur relasi sosial yang kompleks yang melandasi sistem kerjanya.

Untuk itu, studi tentang kapitalisme tidak bisa menafikan perspektif keilmuan lain, di luar ilmu ekonomi, terutama hukum, sosiologi, politik dsb.